Rabu, 30 Januari 2008

TAHUN BARU, SEMANGAT dan TANTANGAN BARU

Refleksi atas kesalahan dan kegagalan kita di tahun 2002…[1]

Oleh: Setiadi Ihsan


“Setiap orang harus pernah gagal sekali, paling tidak sebelum menginjak usia 40 tahun… Semakin parah kegagalan Anda, semakin besar peluang untuk meraih sukses di kemudian hari… Sebagian orang tua khawatir anaknya akan gagal. Saya cemas justru karena anak saya sudah berumur lebih dari 30 tahun, tetapi belum pernah gagal.”

Ungkapan di atas meluncur dari seorang tokoh Al Neuharth, pendiri USA Today yang kami kutip dari buku yang ditulis Billi P.S. Lim, Dare to Fail.
Kecemasan seorang Al Neuharth menghadapi anaknya sejalan dengan kegembiraan Bapak Achmad Bakrie, Almarhum, pendiri cikal bakal kelompok usaha Bakrie.
Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Eksekutif, 22 tahun silam, tepatnya tahun 1981, Ir. Aburizal Bakrie, Chaiman Bakrie & Brothers, menyatakan bahwa ayahnya, Bapak Achmad Bakrie pernah tertawa gembira ketika mendapatkan kabar mengenai kebangkrutan dalam usahanya.
Dalam liputan wawancara di atas, dikisahkan setelah Bapak Achmad Bakrie menertawakannya, sesuai kutipan aslinya dalam bahasa Inggris, beliau berkata, “Good, Ical, Good. I am glad that you have failed. You have to understand what failure means, in order to succeed. People who never failed, will never succeed.”

Terkadang kita begitu khawatir akan kegagalan hingga berupaya sekuat tenaga untuk menghindarinya. Padahal Kegagalan, masih dalam buku yang sama, Dare to Fail, Billi P.S. Lim mengungkapkan, “Setiap kegagalan itu pelajaran yang memotivasi orang untuk mencoba pendekatan baru yang belum pernah dicoba sebelumnya”. Lebih lanjut Billi P.S. Lim mengatakan,”Jika anda telah mencoba dan menemui kegagalan; jika anda telah merancang dan menyaksikan rancangan anda hancur di depan mata; ingat saja bahwa tokoh-tokoh besar dalam sejarah semuanya menjadi besar karena keberanian, dan keberanian, tahukah anda, lahir dalam buaian kesusahan.

Anda pasti mengenal setidaknya pernah mendengar nama Bill Gates, pendiri dan pemilik Microsoft, sekarang ia merupakan orang terkaya di Amerika, padahal umurnya baru 30-an. Bill Gates adalah contoh orang yang gagal dalam pendidikan, merupakan drop out dari sebuah universitas.
Tidak jauh-jauh di Indonesiapun, Sony Sugema merupakan contoh orang yang gagal dalam pendidikan namun ‘kegagalan’ di atas justru memicunya untuk membantu masyarakat luas khususnya para siswa di sekolah lanjutan atas untuk memperbesar peluang kuliah di perguruan-perguruan tinggi terbaik di Indonesia dengan Soy Sugema College-nya.

Masyarakat kita begitu menghargai dan menempatkan orang-orang yang berhasil dalam pendidikan dalam kedudukan yang terhormat. Sampai-sampai karena gelar tertentu sebagaian masyarakat kita berani mengeluarkan sejumlah uang sebagai harga dari gelar yang akan disandangnya. Demikian juga penghargaan bagi sebuah pekerjaan. Ibu-Bapak kita begitu bersemangat untuk menghantarkan kita kepada suatu pekerjaan dan salah satu usahanya dengan menyekolahkan kita ke tingkat pendidikan setinggi mungkin.

Dalam hal pekerjaan ini, banyak negara yang menempatkan sektor lapangan pekerjaan sebagai proritas utama, bahkan ada negara yang dikudeta, karena tidak memberikan pekerjaan kepada rakyatnya.

Masyarakat kita telah digiring kepada sebuah pemikiran di mana orang yang tidak mempunyai pekerjaan dipandang hina.
Jika ada seorang anak menganggur di rumah tanpa mendapatkan pekerjaan dalam jangka waktu yang agak lama, pihak orangtua cenderung menekannya sehingga si anak itu terpakasa mencoba mendapatkan sembarang pekerjaan yang ada[2]

Kalau kita coba menghitung biaya pendidikan, jangan jauh-jauh di UNIGA biaya untuk menyelesaikan perkuliahan selama 8 semester orang tua kita perlu membelanjakan uang sampai sebanyak Rp. 4 juta per semester atau Rp. 32 juta rupiah untuk empat tahun masa perkuliahan. Pengeluaran ini terdiri dari uang perkuliahan, praktikum, tugas akhir dan biaya hidup selama kuliah, belum termasuk support orang tua terhadap kebutuhan lainnya dari mahasiswa. Jumlah ini akan jauh lebih besar kalau dihitung biaya pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak. Uang Rp. 32 juta ini kalau kita hitung waktu pengembalian apabila kita bekerja, misal standar gaji apoteker baru (MBA) untuk di daerah adalah sekitar 500 ribu rupiah per bulan atau Rp. 6 juta per tahun, sehingga memerlukan waktu 6 tahun dalam pengembaliannya.

Kuatnya pola pandang dalam hal pekerjaan seperti di atas sering berdampak pada salah kaprahnya dalam memandang sebuah proses pendidikan. Satu contoh begitu dominannya nilai perkuliahan dalam kegiatan pendidikan telah berdampak pada upaya potong kompas dari mahasiswa untuk mendapatkan nilai yang bagus dengan harapan dapat segera selesai meraih gelar sarjana sebagai modal dalam mendapatkan pekerjaan. Walaupun nilai yang diraih diperoleh dengan cara-cara yang jauh dari sebuah nilai pendidikan.
Al-hasil, nilai tiak lagi menggambarkan evaluasi dari sebuah proses pendidikan dalam arti pemahaman dari sebuah wawasan atau pengetahuan yang diajarkan.

Hal ini dapat terjadi karena kesalahan kita dalam memandang bahwa nilai jelek yang diperolaeh dalam sebuah perkuliahan adalah sebuah kegagalan dan nilai atau IP yang bagus adalah sebuah kesuksesan. Padahal kalau kita melihat contoh atau kasus orang-orang ternama seperti di atas, kita memahami bahwa kegagalan bukan merupakan akhir dari sebuah proses justru merupakan pelajaranm berharga dalam rangka meperbaiki diri menuju tangga kesuksesan hakiki.

Dalam buku Rich Dad Poor Dad, Robert Kiyosaki, mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi sorang yang sukses tegasnya menjadi seorang kaya raya, adalah hal yang salah kalau kita menempuh jalur sekolah. Hal ini dapat dimaklumi ketika sekolah hanya dijadikan ajang batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaaan. Dengan membandingkan pola pandang orang kaya dan orang miskin, Kiyosaki membuktikan justru orang kaya tidak sekolah untuk bekerja dan tidak bekerja untuk uang.

Dalam bukunya yang lain, Business School, Kiyosaki menggambarkan bagaimana pendidikan sekolah tradisional dapat mempengaruhi sikap mental (aspek emosional) yang nota bene sangat tidak disukai oleh penulis buku tersebut. Dalam bukunya itu dijelaskan bahwa pendidikan tradisional hanya membuat orang terus-meneru takut… secara lebih spesifik, takut melakukan kesalahan, yang mengarah kepada takut gagal. Bukannya memberi dorongan supaya belajar, guru justru menggunakan rasa takut gagal untuk memotivasi siswa. Lebih lanjut Kiyosaki memberikan contoh komentar berkaitan dengan hal ini, “ Kalau kamu tidak mendapat nilai bagus, kamu tidak akan mendapat pekerjaan dengan gaji besar.” Diapun mengisahkan bahwa di sekolah, biasanya siswa dihukum karena melakukan kesalahan. Di sekolah, secara emosional belajar untuk takut melakukan kesalaahan. Masalahnya , dalam dunia nyata, orang-oarang yang maju adalah yang melakukan kesalahan terbanyak dan belajar dari kesalahan itu.

Robert Kiyosaki yang meraih kebebasan finansial pada umur 40 tahun, mengatakan bahwa dirinya berlimpah uang bukan karena lebih pandai secara akademis tetapi karena dirinya telah melakukan banyak kesalahan, dan belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dalam gaya repetisinya, Kiyosaki lebih lanjut membeberkan kisahnya, “Saya kemudian terus melakukan banyak kesalahan... dan saya berharap akan melakukan lebih banyak kesalahan… dan saya berharap akan melakukan lebih banyak kesalahana pada masa yang akan datang…..sementara kebanyakan orang berusaha keras keras untuk tidak lagi melakukan kesalahan dalam masa depan mereka ……itulah kami mempunyai masa depan yang berbeda.”
“Anda tidak dapat memperbaiki masa depan kalau anda anda tidak bersedia melakukan sesuatu yang baru dan mengambil resiko untuk melakukan kesalahan serta belajar darinya.”[3]

Kembali kepada kegagalan (usaha) pertama dari salah satu pewaris Bakrie Brothers yang didirikan pada tahun 1942, sebagaimana tersebut di atas, hendaknya menjadi pelajaran berharga ketika kita menyaksikan sepak terjangnya meneruskan usaha sang ayah hingga mengantarkannya menjadi salah satu perusahaan besar di Indonesia, termasuk meloloskannya dari terpaan krisis dengan tuntasnya program Restrukturisasi Hutang Bakrie.

Cerita serta nilai-nilai di atas hendaknya menjadi bahan perenungan kita dalam memasuki tahun baru 2003 dalam rangka mengevaluasi hasil studi, aktivitas, kerja atau program bahkan ambisi yang kita canangkan pada tahun sebelumnya.

Tidak ada kamus sedih atau putus asa ketika raport kita merah padam. Nilai UTS kita anjlok habis, ataupun asmaraloka kita kandas, dan sejumlah kegagalan lainnya. Kegagalan merupakan awal kesuksesan ketika kita terus mencoba dan mencoba untuk senantiasa bangkit darinya.

Pemikir kreatif menyadari nilai professional kesalahan, dan kekeliruan. Sejarah penemuan dipenuhi orang yang terbiasa dengan asumsi salah dan gagasan yang gagal sebagai batu loncatan mendapatkan ide baru. “Kegagalan adalah peluang untuk memulai lebih pintar”. Demikian nasehat pendiri Ford Motor, Henry Ford yang sebelumnya adalah pekerja magang sebagai montir di suatu bengkel, dan pada malam hari bekerja di toko permata dengan tugas membersihkan jam.

Kita kadang menilai kesuksesan seseorang dari apa yang jelas terlihat sekarang, padahal proses panjang lagi berbelit yang mendahuluinya jarang kita hiraukan. Benar kata Soichiro Honda, “Apa yang dilihat orang terhadap kesuksesan saya hanya 1 %, tapi yang tidak terlihat 99%, yakni kegagalan saya “.

Kalau kita mengetahui dan dapat mengungkapkan kesuksesan teman mahasiswa kita karena meraih Indeks Prestasi yang sangat tinggi, apakah kita juga mengetahui serangkaian proses yang telah ditempuh oleh teman kita itu termasuk kegagalan-kegagalan yang telah menyertai kesuksesan teman kita, namun sayangnya kita tidak mau tahu ….

(Wallohu ‘alam)



[1] Disampaikan pada: Studium Generale bagi Mahasiswa Farmasi Uniga semester 3 dan 5, Tgl. 10 Jan 2002
[2] Dare To Fail, Billi P.S. Lim, P 130
[3] Business School, Robert T. Kiyosaki, p.18

Tidak ada komentar: